Dalam catatan sejarah nabi (Shirah Nabawi), ditemukan informasi, ada tiga kegiatan ekonomi yang dilakukan Rasulullah yaitu menjadi penggembala, berdagang dengan pamannya, dan menjalin mitra usaha dagang Siti Khadijah yang kemudian hari menjadi istrinya. Hal ini menggambarkan, sedari usia muda, Rasulullah ikut terbiasa dan sudah membiasakan diri meenjadi orang mandiri.
Khusus dalam kaitannya dengan bisnis (dagang), pada mulanya Rasulullah terlibat dengan usaha-usaha yang dikembangkan pamannya, Abu Thalih, yang mengembangkan sayap bisnisnya dengan menjalin usaha bersama dengan pengusaha besar yakni Siti Khadijah. Ia adalah seorang janda kaya di Mekah yang berakhlak mulia. Ia adalah wanita yang senantiasa menjaga kehormatan dirinya sehingga mendapat gelar At-Thahirah (Wanita Suci).
Menanggapi permohonan Muhammad untuk ikut berdagang, Siti Khadijah tanpa pikir panjang langsung menyambutnya dengan senang hati, karena ia telah cukup mengenal Muhammad sebagai pemuda yang ramah, jujur, dan sopan santun.
Berangkatlah Nabi Muhammad sae ke negeri Syam, ditemani oleh Maisarah, budak Siti Khadijah. Jalinan usaha antara Abu Thalib dan Siti Khadijah berjalan lancar, dan bahkan mampu membesarkan bisnisnya. Karena kemajuan dalam bisnisnya itulah Siti Khadijah melalui pembantunya, Maisarah kemudian mencari tahu, apa dan bagaimana cara berdagangnya partner usaha tersebut. Ternyata Muhammad dengan Abi Thalib mampu melakukan komunikasi usaha dengan ara yang sangat baik.
Mereka berdua mampu melakukan komunikasi usaha yang memegang prinsip kejujuran dalam usaha, sehingga bisa memberikan kenyamanan kepada pembeli. Nilai kejujurannya itulah, yang kemudian menyebabkan usaha-usaha Muhammad dan Abu Thalib bisa berkembang baik, dan itu semua sudah tentu menguntungkan usaha Siti Khadijah.
Dalam kaitan ini, ada beberapa nilai kejujuran yang memang penting dikembangkan dalam konteks usaha kerja sama sebagaimana yang dilakukan Rasulullah. Nilai kejujuran merupakan nilai-nilai penting dalam hal apa pun apalagi dalam bisnis. Pertama, jujur terhadap rekanan usaha kita. Jangan samapai, rekanan kita merasa dirugikan karena kita tidak pernah memberikan laporan keuntungan secara terbuka. Banyak pebisnis sekarang, kalau untuk dimakan sendiri, tetapi kalau rugi dilaporkan kepada mitra usaha kita.
Kedua, jujur kepada pembeli. Dimana pun kita berdagang, pembeli harus dihargai secara optimal. Kita tidak boleh berdusta atau mencederai konsumen kita. Ada sifat buruk, di sejumlah pedagang kita. Melihat calon pembeli bukan daerah asli tempat tinggal kita, misalnya pendatang, harga barang kemudian dinaikkan. Sikap seperti ini, sesungguhnya hanya merugikan diri sendiri. Memang, sekali waktu dia mendapatkan untung besar, tetapi citra usaha menjadi buruk. Pernahkah kita mendengar, ada saudara kita yang kapok jajang di suatu tempat wisata, karena barang-barangnya dimahalkan? Apakah dengan pengalaman itu, kelak kalau kita berkunjung lagi ke tempat wisata itu, kita berminat untuk belanja lagi?
Tingginya korupsi di negara kita ini, pada dasarnya karena telah kehilangan sikap kejujuran. Di negeri kita ini, sifat-sifat sebagaimana yang diajarkan Rasulullah sekarang hampir sulit ditemukan. Ketidakjujuran merajalela sehingga korupsi pun marak.
Ketiga, setiap pengusaha atau pegawai pun harus jujur terhadap profesinya atau hasil usahanya. Di sini, sifat amin (jujur), bermakna pula amanah atau transparansi. Seorang yang jujur (al-amin) adalah orang yang mengembangkan sikap transparan, terbuka pada orang lain. Sikap ini penting, karena bila pengusaha, pedagang tidak mau bersikap transparan, dia akan terjerumus melakukan tindak pidana korupsi, manipulasi, atau penggelapan hasil usaha.
Ketidakjujuran bisa jadi menguntungkan, tetapi sifatnya hanya sesaat. Bahkan, ketidakjujuran bisa menghancurkan dalam jangka panjang. Apakah kita mementingkan keuntungan jangka panjang atau sekadar jangka pendek?
Banyak yang mengatakan apabila jujur, usaha akan hancur lebur. Jujur akan membuat kerugian. Sebagai kaum Muslimin yang meyakini janji-janji Allah, maka kalimat-kalimat seperti itu merupakan kalimat yang tidak dibenarkan. Kalau Allah SWT sudah menjamin seseorang yang jujur akan mujur, mengapa kita masih memercayai anggapan umum yang menyalahi prinsip ajaran Islam? Jujurlah, Insya Allah hidup akan mujur.
Penulis: H. HABIB SYARIEF MUHAMMAD ALAYDRUD
Ketua Yayasan Assalam Bandung, mantan anggota MPR dan mantan Ketua PW NU Jabar
terimakasih gan atas postingan nya ,, artikel nya memberi aku kesadara,,
BalasHapusasalamualaikum