Tidak semata-semata Allah memerintahkan Nabi Ibrahim as memotong putranya yang tercinta, Nabi Ismail as, jika tidak ada hikmah yang terkandung dalam perintah tersebut. Apabila melihat kisah kurban yang terdapat dalam al-Quran yang diperankan Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as, layaklah kita anggap sebagai peristiwa nyata. Bila ada yang menyatakan hanya simbolik atau tak nyata alias fiktif, berarti telah menganggap kitab suci Umat Islam (al-Quran) tidak benar. Pikiran seperti ini seharusnya segera dijauhkan dari ingatan kita. Sebab kurban jelas sebagai perintah Allah yang tercantum dalam al-Quran surat al-Kautsar ayat 1-2:
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ . فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah.”
Makna Berkurban
Setiap ibadah dalam agama Islam pasti mengandung makna atau hikmah yang bermanfaat. Begitu pun ibadah kurban. Kurban sebagai ibadah tahunan merupakan ajaran Allah yang memiliki dimensi vertikal (hablumminallah) dan horizontal (hablumminannas). Dimensi vertikal ini bisa diartikan sebagai bentuk ketaatan kita kepada Allah dengan melakukan kurban. Yakni sebagai penghambaan kepada Allah, pada Nabi Ibrahim diwujudkan dengan menyembelih kambing atau sapi, yang dagingnya dibagi-bagikan. Aspek ini sebagai bentuk ajaran sosial dalam Islam (hablumminallah).
Kurban juga bisa dimaknai sebagai penyadaran atas nilai-nilai kebinatangan yang ada pada manusia (diri), sehingga kembali menjadi manusia. Namun ada juga yang memaknainya sebagai upaya untuk mendekat pada Allah. Bila itu yang dipahami dan diyakini, maka ia harus berani mengorbankan yang dicintainya (seperti Nabi Ibrahim as). Tapi pendapat ini argumennya tak begikut kuat. Sebab kalau sebagai keberanian berkurban untuk Allah, bagi seorang hamba yang benar-benar mencintai Allah, kurban seekor kambing atau unta bukanlah simbol cinta yang bisa disebut besar. Apalagi ini kepada Allah.
Bukan Sekedar Cinta
Menurut dosen ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, Ahmad Gibson al-Busthomie, ibadah kurban tidak hanya wujud cinta, tapi juga sebagai syukur atas nikmat yang diberikan Allah pada kita. Jika kita tetap yakin bahwa kurban sebagai wujud cinta, maka sungguh kecil nilainya dihadapan Allah.
Ahmad Gibson memberikan perbandingannya. Jika menyembelih kambing itu sebagai tanda cinta, coba bandingkan antara pengorbanan Nabi Muhammad saw yang mengorbankan dirinya berhadapan dengan orang-orang kafir yang ingin membunuhnya; atau Nabi Ibrahim as yang menyembelih anaknya dengan tangannya sendiri. Bandingkan dengan kita yang hanya mengorbankan seekor kambing atau sapi.
Kalau saja Allah tetap menganggap perngorbanan kita dengan seekor kambing sebagai tanda cinta kita pada-Nya, subhanallah, betapa besarnya Kasih-Sayang (Rahman-Rahim) dan Maha Pengampunan Allah kepada kita. Karena itu, kita harus bertanya pada niat kita sendiri untuk apa kita berkurban? Di situlah letak nilainya. Kemudian jika kita menyadari betapa kecilnya pengorbanan kita terhadap yang kita cintai (Allah), semestinya menjadi salah satu dasar supaya kita menyadari untuk semakin bersyukur. Jujur saja bahwa kita lebih banyak meminta suatu “materi” dibandingkan ungkapan rasa syukur dan minta ampunan. Jujurlah bahwa diri kita tak ada apa-apanya dihadapan Allah. Lantas, jika kita merasa kecil maka berbesar hatilah karena rasa rendah hati di hadapan Allah lebih baik dan benilai ibadah. Karena itu, sudah selayaknya kita bersyukur dengan melakukan ibadah kurban yang diperuntukkan bagi kaum dhuafa dan mereka yang menjadi korban bencana. Itu lebih manfaat dan mashlahat ketimbang diberikan kepada mereka yang sehari-harinya mengonsumsi daging. Insya Allah,
هَلْ جَزَاءُ الإحْسَانِ إِلا الإحْسَانُ
“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan.” (QS ar-Rahman [55]: 60).(Sakinah Oktober 2011)
0 komentar:
Posting Komentar